Oleh ;
Peneliti :
Prof. Dr. Nani Nurhaeni, S.Kp.,M.N.(Wakil Dekan Bidang
Sumber Daya Ventura dan Administrasi Umum Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Dewan Perwakilan Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI), Officer Sigma Theta Tau
International Alpha Beta Lambda at Large Chapter).
Editor :
KH. Dr. Muhammad Sontang Sihotang S.Si, M.Si*.(Kepala Laboratorium Fisika Nuklir, Prodi Fisika, Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam, Peneliti Pusat Unggulan Ipteks Karbon & Kemenyan-Universitas Sumatera Utara (USU)-Medan, Mantan Wartawan / Kolumnis / Reporter, Kepala Biro dan Wilayah, Wakil Pemimpin Redaksi, Wakil Pimpinan Umum : dahulu & sekarang @ Tabloid Suara USU-Medan, Tabloid Bintang Sport Film (BSF)-Medan, Garuda-Harian Sore-Medan,Waspada-Medan,Tabloid Duta Bangsa- Jakarta, Dayak News - Palangkaraya, Kalimantan Tengah, GarudaNews - Medan, Portal Medan-Medan, Mabesnews-Jakarta,WasantaraNews-Medan,KomandoTopNews-Medan, Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI), d/h Salemba, Jakarta Pusat, Tahun 1996 s.d 2000.
Tulisan ini merupakan Pidato Orasi
Ilmiah pada Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu
Keperawatan Anak Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Depok, 18
Desember 2024
PENDAHULUAN
MASALAH KESEHATAN ANAK INDONESIA
Mengawali pidato
ini, izinkan saya menjelaskan bagaimana kondisi masalah kesehatan anak
Indonesia saat ini. Kesehatan anak adalah salah satu indikator penting dalam
menilai kualitas kehidupan suatu bangsa. Sayangnya, meskipun ada kemajuan dalam
beberapa aspek, tantangan kesehatan anak di Indonesia masih cukup besar.
Beberapa masalah yang teridentifikasi adalah Pertama, masalah gizi terutama
gizi buruk dan stunting masih tinggi, dengan sekitar 24 % anak balita mengalami
stunting. Hal ini disebabkan oleh kurangnya asupan gizi yang seimbang dan pola
makan yang tidak sehat. Kedua adalah masalah penyakit menular yaitu diare,
pneumonia, dan tuberkulosis masih menjadi penyebab kematian anak (WHO, 2022).
Meskipun program imunisasi telah dilaksanakan, masih ada daerah-daerah yang
memiliki cakupan imunisasi rendah, sehingga anak-anak tidak terlindungi dan
rentan terhadap penyakit penyakit tersebut. Ketiga adalah masalah mental anak
termasuk remaja yang perlu mendapat perhatian penting. Meningkatnya tekanan
sosial dan perubahan lingkungan, menyebabkan banyak anak yang mengalami masalah
kesehatan mental.
Pneumonia sebagai
penyakit menular pada balita adalah salah satu masalah kesehatan anak yang
menjadi beban pemerintah dan memerlukan perhatian serius. Kondisi ini terjadi
saat Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) tidak tertangani dengan baik. Salah
satu faktor risiko pneumonia adalah polusi yang dihasilkan dari emisi kendaraan
bermotor. Sebuah survei yang dilakukan di 8 puskesmas di Jakarta oleh Nurhaeni,
Utami, dan Indracahyani (2022) menunjukkan hasil bahwa ibu yang memiliki
pendidikan lebih tinggi, bekerja, berpenghasilan lebih tinggi, serta memiliki
anak dengan riwayat ISPA sebelumnya, cenderung menunjukkan perilaku pencegahan
yang lebih baik (nilai p < 0,05). Selain itu, sebagian besar orang tua
(91,9%) memiliki pengetahuan yang memadai tentang konsekuensi kesehatan dari
emisi kendaraan. Namun, masih diperlukan studi lanjutan untuk memahami perilaku
berkendaraan secara lebih mendalam dan menentukan intervensi yang lebih tepat.
Intervensi yang menargetkan anak-anak dari orang tua dengan pendidikan rendah
sangat penting untuk mengurangi beban ISPA dan mencegah terjadinya pneumonia
pada balita. Dengan pendekatan yang tepat, diharapkan dapat meningkatkan
kesadaran dan tindakan pencegahan di kalangan orang tua, sehingga kesehatan
anak dapat terjaga dengan lebih baik. Selain masalah kesehatan pada usia
balita, populasi remaja juga perlu mendapat perhatian terkait maraknya
penggunaan narkoba, yang dapat menjadi masalah mental, terutama di wilayah Bima
sebagai kota pelabuhan. Wulandari, Nurhaeni, Martiningsih, dan Ahmad (2022)
mencoba mengeksplorasi pendapat orang tua dan siswa mengenai kebutuhan metode
dan media untuk promosi pencegahan penyalahgunaan narkoba. Hasil studi menunjukkan
bahwa baik orang tua (70 orang) maupun siswa (275 siswa) menginginkan
penggunaan media audiovisual dan media sosial, seperti pemutaran film di
televisi dan gadget, untuk mendapatkan informasi tentang pencegahan
penyalahgunaan narkoba dari tenaga kesehatan.
Selain itu, mereka mengusulkan agar promosi kesehatan dilakukan secara terjadwal, sebanyak 2-3 kali dalam setahun. Sebagian besar responden juga memilih sekolah dan rumah sebagai lokasi yang ideal untuk kegiatan promosi. Temuan ini menekankan pentingnya pendekatan yang terintegrasi dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba, dengan memanfaatkan teknologi dan lingkungan yang familiar bagi remaja, untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan mereka tentang risiko penggunaan narkoba. UPAYA PROGRAM PEMERINTAH ATASI MASALAH Berangkat dari fenomena di atas, berbagai upaya untuk meningkatkan kesehatan anak dilakukan pemerintah termasuk program gizi, imunisasi, kesehatan ibu dan anak yang didalamnya ada Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM), Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK), dan yang terbaru adalah Pemeriksaan Kesehatan Anak Terintegrasi (PKAT), serta peningkatan akses layanan kesehatan. Seluruh tenaga kesehatan perlu terlibat dalam upaya penanggulangan masalah kesehatan, untuk kasus penanganan stunting bahkan diperlukan penanganan lintas sektor dengan tenaga non kesehatan dengan adanya intervensi sensitif dan spesifik. Partisipasi masyarakat khusunya keluarga sangat penting, juga edukasi tentang pentingnya gizi seimbang, kebersihan, dan kesehatan mental yang harus terus digalakkan agar orang tua, keluarga, dan masyarakat lebih sadar akan kesehatan anak-anak mereka. Program MTBS yang ada di pelayanan primer atau Puskesmas bertujuan untuk menangani pneumonia dan diare sebagai penyebab utama kematian balita dan mendeteksi dini anak-anak yang perlu rujukan segera. Sementara MTBM ditujukan untuk menyelamatkan bayi muda yang terdeteksi penyakit berat dan perlu segera dibawa ke pelayanan kesehatan sekunder maupun tersier. Program SDIDTK sudah berjalan di beberapa Puskesmas untuk mencoba melakukan skrining dan mendeteksi dini masalah tumbuh kembang (termasuk stunting atau masalah mental) dan mengintervensi secara dini. Intervensi dini dapat dilakukan orangtua atau keluarga, dan dalam kurun waktu 2 minggu jika tidak ada perubahan perlu dirujuk ke tenaga kesehatan. Terkait kejadian stunting teridentifikasi pula bahwa masa transisi dari pemberian ASI eksklusif ke masa dimana makanan pendamping ASI (MPASI) perlu diberikan di usia 6 bulan memiliki tantangan tersendiri. Kecenderungan para ibu untuk memberikan MPASI siap saji sangat tinggi. Imunisasi sebagai salah satu program dari pemerintah merupakan cara yang sangat efektif untuk mencegah penyakit menular yang dapat berakibat fatal. Dengan memberikan vaksinasi yang tepat waktu, kita dapat melindungi anak-anak dari berbagai penyakit yang dapat dicegah melalui imunisasi. Penelitian menunjukkan bahwa cakupan imunisasi yang tinggi di masyarakat berkontribusi pada penurunan insiden penyakit menular dan secara signifikan meningkatkan kesehatan masyarakat secara keseluruhan (Abdilahi et al., 2023). Penelitian Nurhaeni, Chodidjah, Adawiyah, dan Astuti (2021) menemukan bahwa penggunaan aplikasi PrimaKu, yang dikembangkan untuk meningkatkan cakupan imunisasi anak di Indonesia, menunjukkan hasil yang belum signifikan. Sekitar 44,5% anak memiliki status imunisasi dasar lengkap, namun angka ini masih jauh dari target cakupan imunisasi nasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memiliki sikap suportif terhadap imunisasi memiliki kemungkinan 3,58 kali lebih besar untuk menyelesaikan imunisasi dasar. Selain itu, ibu yang menggunakan aplikasi seluler juga 3,23 kali lebih mungkin untuk menyelesaikan imunisasi. Penggunaan aplikasi mobile PrimaKu terbukti dapat meningkatkan sikap ibu terhadap imunisasi dan status imunisasi dasar lengkap anak. Meskipun demikian, penelitian ini juga menekankan perlunya edukasi yang komprehensif untuk meningkatkan literasi ibu dalam menggunakan aplikasi, sehingga manfaat dari aplikasi dapat dimaksimalkan dalam upaya mencapai cakupan imunisasi yang lebih tinggi.
Imunisasi
merupakan upaya pencegahan utama pneumonia yang diberikan melalui vaksin DPT,
Hib, campak, PCV, dan rotavirus. Penelitian Setiyowati dan Nurhaeni (2019)
dilakukan untuk melihat korelasi antara pemberian imunisasi dasar lengkap,
karakteristik orang tua, dan karakteristik anak balita dengan kejadian
pneumonia pada anak-anak usia dini di Depok. Terdapat 104 responden yang terlibat,
data diambil dari Puskesmas di Depok antara bulan April dan Juni 2018. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa imunisasi dasar lengkap (p: 0,001), usia (p:
0,002), dan status nutrisi (p: 0,043) memiliki korelasi signifikan dengan
kejadian pneumonia pada anak balita. Dengan demikian, edukasi kesehatan
mengenai pentingnya imunisasi dasar lengkap dan nutrisi seimbang perlu
diberikan kepada orang tua yang memiliki anak balita.
Setiap anak mempunyai hak untuk hidup sehat dan berkembang secara optimal. Anak yang sehat juga merupakan aset bagi generasi bangsa di masa depan. Sebagai salah satu tenaga profesional kesehatan, perawat anak perlu berkontribusi dalam upaya promosi kesehatan anak agar anak terpelihara dan terlindungi dari berbagai masalah kesehatan. Promosi kesehatan lebih berfokus pada pencegahan penyakit dan peningkatan status kesehatan secara keseluruhan. Edukasi kesehatan yang tepat dapat membantu anak-anak dan keluarga memahami pentingnya pola hidup sehat, termasuk nutrisi yang baik, aktivitas fisik, dan kebersihan perorangan. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang terlibat dalam program edukasi kesehatan memiliki tingkat pengetahuan yang lebih tinggi tentang kesehatan dan lebih cenderung untuk mengadopsi perilaku sehat (Bollweg & Okan, 2024). Mengingat bahwa anak bukanlah miniatur dewasa, memiliki keunikan, dan berada dalam fase tumbuh kembang, juga masih sangat bergantung pada orang lain, diperlukan pendekatan yang melibatkan orang-orang terdekat mereka, terutama keluarga atau orang tua. Oleh karena itu, penting untuk menerapkan strategi asuhan yang berpusat pada keluarga (family-centered care) guna mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal. Pendekatan ini menekankan peran aktif keluarga dalam proses perawatan dan pengasuhan, sehingga anak dapat tumbuh dalam lingkungan yang mendukung kesehatannya dan memperkuat ikatan emosional orangtua-anak. Pengasuhan yang baik bukan hanya berdampak pada kesejahteraan anak saat ini, tetapi juga merupakan investasi besar bagi sumber daya manusia Indonesia di masa depan. Dengan mendukung tumbuh kembang anak secara holistik, kita berkontribusi pada pembentukan generasi yang sehat, cerdas, dan siap menghadapi tantangan di masa yang akan datang. "It takes one nation to raise children." Pernyataan ini menegaskan pentingnya keterlibatan seluruh pemangku kepentingan dalam mengawal proses investasi besar ini, termasuk profesi kesehatan. Sebagai salah satu profesi kesehatan, keperawatan memiliki peran krusial dalam memberikan asuhan kepada anak-anak di seluruh rentang sehat sakitnya. Tujuan akhirnya adalah mencapai kesejahteraan anak, sesuai dengan paradigma keperawatan.
FAMILY-CENTERED
CARE (ASUHAN BERPUSAT KELUARGA)
Family-Centered Care (FCC) adalah pendekatan dalam perawatan kesehatan yang menempatkan keluarga sebagai bagian integral dari proses perawatan. Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan pengalaman pasien, seperti kenyamanan dan kepuasan, serta hasil kesehatan dengan melibatkan keluarga dalam proses perawatan (Harrison & Kearney, 2019). Menurut O'Connor, Brenner, dan Coyne (2019), atribut FCC mencakup partisipasi orang tua dalam proses perawatan, pengembangan kemitraan yang saling menghormati dan mempercayai, serta berbagi informasi di antara semua anggota keluarga sebagai penerima perawatan. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan pengalaman anak dan orang tua selama dirawat di rumah sakit, tetapi juga dikaitkan dengan pengurangan kecemasan bagi orang tua. Dengan memerasakan dukungan emosional yang lebih besar, sementara orang tua merasa lebih terinformasi dan terlibat dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kesehatan anak mereka. Hal ini menciptakan lingkungan yang lebih positif dan mendukung, yang sangat penting untuk kesejahteraan anak selama masa perawatan. Ketika menggunakan pendekatan FCC, seorang perawat anak perlu berkomunikasi, menghargai, memberi dukungan emosi dan psikologis pada keluarga. Selain itu perawat anak juga melibatkan (ada partisipasi) dari keluarga dalam memberikan asuhan, memfasilitasi keluarga beradaptasi dengan lingkungan baru, berkolaborasi dengan tim kesehatan lain, dan melakukan kegiatan edukasi pada keluarga. Pendekatan FCC menempatkan keluarga sebagai mitra dalam proses perawatan dan pengambilan keputusan (Kuo et al., 2012). Keluarga adalah pengasuh utama anak dan memiliki peran sangat penting dalam membangun pola hidup sehat anak. Keluarga juga merupakan sumber dukungan emosional, pendidikan, dan perawatan yang pertama bagi seorang anak. Keluarga yang diberdayakan dapat berkontribusi secara signifikan terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak-anak mereka. Di sisi lain, teridentifikasi konsep Patient and Family-Centered Care (PFCC) sebagai turunan FCC. Menurut Seniwati, Rustina, Nurhaeni, dan Wanda (2022), PFCC memiliki karakteristik yang meliputi kemitraan antara keluarga dan pemberi asuhan, komunikasi yang efektif dan terbuka, penghargaan terhadap keluarga, serta empati dan kepekaan terhadap kebutuhan emosional keluarga. Dalam studi ini, perilaku yang mendahului FCC meliputi keterlibatan keluarga dan pasien, kesiapan untuk berkolaborasi dan berpartisipasi, kompetensi serta keinginan untuk memberikan asuhan yang profesional, lingkungan yang mendukung, dan kebijakan yang mendasarinya. Dengan demikian, analisis terhadap FCC ini menunjukkan bahwa penerapannya dapat meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup anak, meningkatkan keselamatan pasien, serta meningkatkan kepuasan pasien dan keluarga.
Selain itu, pendekatan ini juga memperkuat nilai-nilai kemanusiaan mengurangi biaya perawatan dan durasi rawat inap, serta menurunkan stres, kecemasan, dan depresi di antara anggota keluarga.Studi lain menunjukkan bahwa ketika keluarga terlibat dalam perawatan, status kesehatan anak menjadi lebih baik, termasuk peningkatan kepatuhan terhadap pengobatan dan pengelolaan kondisi kesehatan (Shahabi et al., 2022). Ini menegaskan pentingnya peran keluarga dalam mendukung perawatan anak, yang pada gilirannya berkontribusi pada hasil kesehatan yang lebih baik.
Dampak PFCC
terhadap kualitas asuhan telah teridentifikasi melalui systematic review yang
dilakukan oleh Seniwati, Wanda, dan Nurhaeni (2023). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa intervensi FCC, pemberdayaan keluarga, partisipasi orang tua,
kolaborasi yang erat, serta program kemitraan antara perawat dan ibu, memiliki
dampak positif yang signifikan terhadap kualitas hidup anak, lama rawat inap,
keselamatan anak, dan kepuasan keluarga. Bukti ini mengindikasikan bahwa
penerapan FCC dapat secara efektif meningkatkan kualitas asuhan yang diberikan
kepada anak. Oleh karena itu, diharapkan FCC dapat diimplementasikan secara
luas di area keperawatan anak, dengan meningkatkan partisipasi keluarga selama
proses perawatan dan pengobatan. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat hubungan
antara tenaga kesehatan dan keluarga, tetapi juga berkontribusi pada hasil
kesehatan yang lebih baik bagi anak.
PEMBERDAYAAN KELUARGA
Pemberdayaan
merupakan proses kolaboratif-aktif antara perawat dan orangtua (keluarga) untuk
mencapai tujuan bersama (Golubović et al., 2021). Menurut Lashgari et al.,
(2021) pemberdayaan sebagai pendekatan pembelajaran kolaboratif merupakan salah
satu konsep dasar family centered care. Konsep pemberdayaan dijelaskan Tveiten
(2021) sebagai inti promosi kesehatan yang melibatkan klien sebagai individu
maupun keluarga. Pemberdayaan keluarga sebagai inti pendekatan FCC menekankan
pentingnya keterlibatan keluarga dalam perawatan kesehatan anak. Keluarga
terutama orangtua adalah orang yang paling “TAHU” tentang anaknya. Pengakuan
dan penghargaan terhadap keluarga adalah unsur penting yang perlu dipahami
seorang perawat anak. Keluarga dapat berperan aktif dalam pengasuhan,
perawatan, dan pengambilan keputusan terkait kesehatan anak, yang pada
gilirannya dapat meningkatkan hasil kesehatan terbaik anak. Pemberdayaan
keluarga tidak hanya dianggap sebagai subjek yang memiliki peran penting dalam
proses pembangunan kesehatan anak, namun termasuk bagaimana menciptakan
keluarga yang sejahtera, mandiri, dan mampu menghadapi tantangan yang ada di
lingkungan keluarga. Pemberdayaan keluarga dapat mencakup aspek peningkatan
pengetahuan, keterampilan, dan akses terhadap sumber daya yang diperlukan untuk
meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Pemberdayaan keluarga juga merupakan salah satu upaya untuk menyelesaikan masalah kesehatan anak. Keluarga yang merasa berdaya, lebih cenderung membangun jaringan dukungan sosial yang bermanfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan anak. Menurut Haar et al. (2022), dukungan keluarga yang kuat berhubungan positif dengan perkembangan anak yang sehat. Ketika keluarga terlibat dalam proses pengasuhan dan perawatan, anak-anak cenderung memiliki hasil kesehatan yang lebih baik, termasuk peningkatan dalam pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif.
PROMOSI KESEHATAN
DALAM 1000 HPK
Salah satu fokus
utama dalam promosi kesehatan anak adalah nutrisi, terutama dalam konteks 1000
hari pertama kehidupan. Periode ini dimulai dari konsepsi hingga anak berusia
dua tahun dan merupakan fase kritis untuk pertumbuhan dan perkembangan anak.
Nutrisi yang baik selama periode ini sangat penting untuk mencegah stunting,
yaitu kondisi gagal tumbuh yang disebabkan oleh malnutrisi kronis. Edukasi
tentang nutrisi harus dimulai sejak kehamilan termasuk edukasi tentang ASI dan
persiapan menyusui. Penelitian menunjukkan bahwa ibu yang mendapatkan
pendidikan gizi yang baik selama kehamilan lebih mungkin untuk memberikan
nutrisi yang baik kepada anak mereka setelah lahir (Rahayu dkk., 2018). Setelah
kelahiran, penting untuk melanjutkan edukasi mengenai pemberian ASI eksklusif
selama enam bulan pertama, diikuti dengan pengenalan makanan pendamping ASI
(MP-ASI) yang bergizi. Pendekatan ini tidak hanya mendukung kesehatan fisik
anak, tetapi juga berkontribusi pada perkembangan kognitif dan emosional
mereka, sehingga memastikan pertumbuhan yang optimal di tahun-tahun awal
kehidupan. Hasil temuan penelitian kualitatif yang dilakukan Kusumaningsih,
Rustina, Nurhaeni, dan Murni (2023) mengidentifikasi beberapa kondisi penting
yang perlu dipertimbangkan dalam mendukung pemberian ASI eksklusif. Kondisi
tersebut meliputi tradisi pascakelahiran, dukungan terhadap ibu menyusui,
pemberian makanan bayi, masalah menyusui, serta upaya promosi ASI. Untuk
memaksimalkan pemberian ASI eksklusif, kolaborasi antara keluarga, tokoh adat
atau agama, dan petugas kesehatan sangatlah penting. Dengan bekerja sama,
mereka dapat menciptakan lingkungan yang mendukung ibu dalam menyusui,
mengatasi tantangan yang mungkin dihadapi, dan meningkatkan kesadaran akan
manfaat ASI bagi kesehatan bayi. Upaya kolektif ini diharapkan dapat
meningkatkan tingkat keberhasilan pemberian ASI eksklusif dan mendukung
kesehatan anak secara keseluruhan. Pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI)
yang kurang terpenuhi berkontribusi terhadap kejadian stunting. Namun, studi
yang dilakukan oleh Febriana dan Nurhaeni (2019) menemukan bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara praktik pemberian makan bayi dan anak usia 6-23
bulan dengan stunting (p = 0,147). Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan signifikan antara stunting dengan karakteristik ibu dan anak,
seperti usia ibu, status pekerjaan ibu, tingkat pendidikan ibu, berat badan
lahir rendah (kurang dari 2.500 gram), perilaku sanitasi dan kesehatan, serta
pendapatan rumah tangga. Oleh karena itu, pembuktian lebih lanjut terkait peran pemberian makanan
bayi dan anak (PMBA) terhadap stunting diperlukan melalui penelitian longitudinal.
Penelitian semacam ini akan membantu mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang
terkait dengan stunting pada anak-anak. Selain itu, jumlah responden yang
terbatas, yaitu hanya 143 ibu, mungkin juga menjadi faktor yang memengaruhi
hasil studi ini, sehingga diperlukan penelitian dengan sampel yang lebih besar
untuk mendapatkan temuan yang lebih representatif. Beberapa faktor utama yang
berkontribusi terhadap pertumbuhan anak dengan stunting mencakup tingkat
pendidikan dan tinggi badan ibu, status ekonomi, sosio-budaya, suplemen
nutrisi, dan intervensi berbasis komunitas. Faktor-faktor ini dapat dijadikan
pertimbangan dalam merancang intervensi untuk mendukung pertumbuhan anak-anak
yang mengalami stunting, dengan tujuan mengurangi dampak negatif dari kondisi
tersebut (Nurhaeni & Utami, 2021). Selain itu, keberagaman makanan anak,
terutama pada fase pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI), juga
teridentifikasi sebagai salah satu faktor yang berhubungan dengan status gizi
anak. Hasil penelitian oleh Nafista, Nurhaeni, dan Rachmawati (2022)
menunjukkan bahwa pemberian MP-ASI yang beragam memiliki dampak positif dan
dapat mengurangi risiko gangguan tumbuh kembang anak.
Oleh karena itu, sangat penting bagi orang tua untuk menyediakan makanan yang bervariasi sesuai dengan anjuran yang ada, guna menjaga dan meningkatkan status gizi anak selama periode tumbuh kembang yang krusial. Intervensi gizi yang tepat dapat mengurangi prevalensi stunting secara signifikan (Kemenkes RI, 2019). Sebuah studi intervensi yang dilakukan oleh Nafista, Nurhaeni, dan Waluyanti (2023) bertujuan untuk melihat dampak edukasi kepada ibu mengenai nutrisi dan pemberian makan pada bayi dan anak sesuai dengan rekomendasi WHO. Hasil studi menunjukkan bahwa intervensi pendidikan gizi memiliki hubungan yang bermakna dengan peningkatan pengetahuan dan sikap pemberian makan ibu, serta berat badan anak, baik pada kelompok kontrol maupun kelompok intervensi (p < 0,05). Namun, skor yang lebih tinggi terdapat pada kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol. Rata-rata berat badan anak pada kelompok intervensi mengalami peningkatan sebesar 331,42 gram, yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pertambahan berat badan pada kelompok kontrol. Penelitian ini menyimpulkan bahwa edukasi kesehatan tentang pemberian makan, yang mengikuti rekomendasi WHO dan menggunakan pendekatan kelompok berorientasi tindakan (Action Oriented Group/AOG), dapat secara signifikan meningkatkan pengetahuan, sikap, dan berat badan anak yang diasuh oleh ibu. Ini menegaskan pentingnya intervensi berbasis edukasi dalam mendukung kesehatan dan pertumbuhan anak. Selain penelitian di atas, intervensi praktik langsung dalam bentuk pengabdian masyarakat juga dilakukan di daerah lokus stunting, yaitu Lombok Timur. Program edukasi tentang praktik pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) merujuk pada buku "Rempah Lombok" sebagai pedoman bagi kader dan ibu. Keberhasilan program ini dievaluasi melalui tanya jawab langsung sebelum dan setelah proses edukasi.
Diharapkan, program ini dapat membimbing para kader dan ibu agar lebih mudah dan percaya diri dalam menerapkan praktik pemberian MP-ASI yang
tepat, sehingga
dapat meningkatkan status gizi balita di Lombok Timur (Nurhaeni, Rahman,
Astuti, & Syamsir, 2023). Melalui pendekatan berbasis masyarakat ini,
diharapkan akan tercipta perubahan positif dalam pola makan dan gizi anak,
serta mengurangi prevalensi stunting di daerah tersebut.
PROMOSI KESEHATAN
DI PELAYANAN RUMAH SAKIT
Promosi kesehatan dan tindakan preventif di tatanan pelayanan rumah sakit dapat dilakukan dengan tetap memprioritaskan dan mengedepankan pelayanan kuratif dan rehabilitatif, sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2023 Pasal 1 Ayat 3. Dalam konteks ini, promosi kesehatan dan pencegahan penyakit serta komplikasi perawatan dapat dilaksanakan melalui berbagai tindakan yang terintegrasi dalam pelayanan kesehatan. Keterlibatan dan pemberdayaan keluarga dalam perawatan anak diterapkan melalui pendekatan FCC. Dengan memberdayakan keluarga dalam perencanaan dan pendampingan selama proses asuhan keperawatan, serta memberikan informasi yang jelas mengenai kondisi anak melalui komunikasi terapeutik, tujuan asuhan dapat dicapai secara optimal. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan kualitas perawatan, tetapi juga memastikan kepuasan keluarga terwujud, karena mereka merasa lebih terlibat dan diperhatikan dalam proses perawatan anak mereka. Dengan demikian, integrasi antara promosi kesehatan dan keterlibatan keluarga menjadi kunci dalam meningkatkan hasil perawatan di rumah sakit. Hasil penelitian Nurhidayah, Nurhaeni, Allenidekania, dan Gayatri (2023) menggunakan desain systematic review melihat pengaruh intervensi berbasis pemberdayaan dan dampaknya pada anak dan orang tua dalam konteks onkologi anak. Penelitian ini merangkum tujuh studi, dimana empat diantaranya merupakan studi eksperimental acak dan tiga non-acak, dengan sampel anak berusia 1–14 tahun. Sebagian besar intervensi dilakukan secara langsung tatap muka, menggunakan buku dan modul sebagai alat belajar, dan berlangsung dalam 2–6 sesi selama 1–8 minggu, dengan durasi pertemuan sekitar 20-45 menit. Hasil review menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan memberikan dampak positif bagi orang tua, termasuk peningkatan pengetahuan, perilaku caring, pengurangan distres, beban asuhan, dan kualitas hidup. Meskipun demikian, studi ini tidak menemukan hubungan yang signifikan terkait dengan jenis koping. Hambatan dalam implementasi termasuk kurangnya komitmen antara orang tua dan perawat, tantangan dalam retensi partisipasi, serta kebutuhan waktu yang lebih banyak untuk melaksanakan intervensi secara efektif. Temuan ini menegaskan bahwa intervensi berbasis pemberdayaan memiliki dampak positif bagi orang tua dan anak-anak dalam setting onkologi. Penelitian yang dilakukan oleh Nurhaeni, Rustina, Agustini, dan Rosuliana (2018) berfokus pada model pemberdayaan keluarga bertujuan untuk mengidentifikasi dampak intervensi model pemberdayaan keluarga terhadap kepuasan keluarga dan lama tinggal anak di rumah sakit akibat pneumonia. Hasil studi menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara kelompok intervensi dan kontrol dalam aspek pemberdayaan dan kepuasan setelah intervensi (p = 0,001). Selain itu, analisis lama tinggal pasien juga menunjukkan perbedaan signifikan antara kedua kelompok (p = 0,001). Temuan ini menegaskan pentingnya pendekatan berorientasi keluarga dalam perawatan anak, khususnya dalam konteks manajemen pneumonia, dan memberikan dasar untuk implementasi lebih lanjut dari model pemberdayaan keluarga dalam praktik klinis di rumah sakit. Penelitian Seniwati, Wanda, dan Nurhaeni (2023) dilakukan bertujuan untuk menggambarkan serta menilai efek perawatan yang berpusat pada pasien dan keluarga terhadap kualitas perawatan pada pasien anak melalui tinjauan sistematis dari tujuh basis data antara tahun 2011 dan 2021. Model intervensi yang teridentifikasi dalam studi ini mencakup perawatan yang berpusat pada keluarga, program komunikasi yang berpusat pada keluarga, perawatan yang terintegrasi dengan keluarga, intervensi pengasuhan keluarga, pemberdayaan keluarga, partisipasi orang tua, kolaborasi erat, program kemitraan ibu-perawat, serta program perawatan dan penilaian perkembangan individu untuk bayi baru lahir. Hasil studi menunjukkan bahwa indikator kualitas perawatan meliputi kualitas hidup anak, lama perawatan di rumah sakit, keselamatan pasien, kepuasan orang tua, respons psikologis orang tua, serta keterlibatan dan kemitraan orang tua dengan staf. Rekomendasi penelitian adalah agar perawatan yang berpusat pada pasien dan keluarga dapat diterapkan di ruang perawatan anak dengan meningkatkan partisipasi keluarga selama proses perawatan. Dengan demikian, pendekatan ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas perawatan dan hasil kesehatan bagi pasien anak, serta memperkuat hubungan antara keluarga dan tenaga kesehatan dalam mendukung pemulihan anak. Casman, Nurhaeni, dan Waluyanti (2022) dalam penelitiannya ingin melihat tingkat rehospitalisasi anak pasca edukasi kesehatan pada keluarga (ibu) selama anaknya di rumah sakit. Desain quasi-eksperimental digunakan dalam penelitian ini, di mana dua kelompok ibu diberikan edukasi kesehatan: satu kelompok melalui media audiovisual dan kelompok lainnya melalui leaflet. Tingkat pengetahuan diukur pada hari ketiga setelah edukasi kesehatan dan dilanjutkan hingga hari ke-30 setelah anak keluar dari rumah sakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan pasca edukasi kesehatan secara signifikan mengurangi kasus rehospitalisasi di kedua kelompok. Namun, tingkat rehospitalisasi pada kelompok yang menerima edukasi melalui media audiovisual lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang menggunakan leaflet (p = 0,047, odds ratio = 5,870). Temuan ini mengindikasikan bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui edukasi kesehatan terbukti efektif dalam mengurangi risiko rehospitalisasi, dengan media audiovisual menunjukkan efektivitas yang lebih tinggi daripada leaflet dalam konteks ini. Penggunaan media yang lebih interaktif dan menarik, seperti audiovisual, dalam memberikan edukasi kesehatan kepada ibu dapat mendukung pemahaman yang lebih baik dan mengurangi risiko rehospitalisasi anak. Penelitian lain (Casman, Nurhaeni, & Waluyanti, 2021) terkait edukasi kesehatan dilakukan untuk melihat dampaknya terhadap lama rawat anak di rumah sakit. Edukasi kesehatan diberikan melalui video dan leaflet di tiga rumah sakit umum di Jakarta dengan menggunakan desain quasi-eksperimental. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan pengetahuan ibu di kedua kelompok, namun perbedaan median antara pretest dan posttest pada kelompok video lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok leaflet (p < 0,001). Lama rawat anak di kelompok yang menerima edukasi melalui video lebih pendek dibandingkan dengan kelompok leaflet (p < 0,001). Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa pendidikan kesehatan melalui video terbukti lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan ibu dan mengurangi lama rawat anak di rumah sakit dibandingkan dengan penggunaan leaflet. Temuan ini menyoroti pentingnya penggunaan media yang lebih interaktif untuk edukasi kesehatan, yang dapat berkontribusi pada pemulihan yang lebih cepat dan efisiensi perawatan di rumah sakit.
PENUTUP
Kesehatan anak adalah investasi untuk masa depan bangsa. Mari kita bersama-sama berkomitmen untuk meningkatkan kesehatan anak-anak di Indonesia, agar mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, menjadi generasi yang sehat dan produktif. Peran tenaga kesehatan termasuk perawat anak perlu diaktifkan memenuhi Transformasi Pilar Kesehatan, sehingga angka kesakitan maupun kematian anak dapat menurun. Perawat anak tidak hanya berperan terbatas pada pemberi asuhan keperawatan, tetapi dapat mencakup upaya pencegahan dan promosi kesehatan yang berkelanjutan. Pemberdayaan keluarga dapat digunakan sebagai pendekatan holistik dalam menerapkan konsep FCC. Melalui pendekatan ini perawat anak dapat memastikan bahwa intervensi yang dilakukan dapat berkontribusi secara signifikan dalam menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan anak, mencegah masalah kesehatan di masa depan, dan meningkatkan kesejahteraan jangka panjang bagi generasi mendatang.(ms2)