PERANAN NITRIC OXIDE DALAM PENYEMBUHAN LUKA DIABETES DAN IMPLIKASINYA PADA INTERVENSI PERAWATAN MODERN UNTUK MENCEGAH AMPUTASI


Oleh : 

Peneliti :

Prof.Dr. Sitti Syabariah, S.KP., MS.Biomed (Wakil Rektor I Bidang Akademik, Kemahasiswaan dan Alumni serta Sistem Informasi Terintegrasi dan Perencanaan Startegis Universitas ‘Aisyiyah Bandung, Tahun 2022 s.d sekarang, Pengurus Pusat Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Muhammadiyah ‘Aisyiyah (AIPNEMA), Tahun 2023 s.d sekarang). Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI), Tahun 1995 s.d 2007.

Editor :

KH. Dr. Muhammad Sontang Sihotang S.Si, M.Si*.(Kepala Laboratorium Fisika Nuklir, Prodi Fisika, Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam, Peneliti Pusat Unggulan Ipteks Karbon & Kemenyan-Universitas Sumatera Utara (USU)-Medan, Mantan Wartawan / Kolumnis / Reporter, Kepala Biro dan Wilayah, Wakil Pemimpin Redaksi, Wakil Pimpinan Umum : dahulu & sekarang @ Tabloid Suara USU-Medan, Tabloid Bintang Sport Film (BSF)-Medan, Garuda-Harian Sore-Medan,Waspada-Medan,Tabloid Duta Bangsa- Jakarta, Dayak News - Palangkaraya, Kalimantan Tengah, GarudaNews - Medan, Portal Medan-Medan, Mabesnews-Jakarta, WasantaraNews-Medan, KomandoTopNews-Medan, Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI), d/h Salemba, Jakarta Pusat, Tahun 1996 s.d 2000.


Tulisan ini merupakan Pidato Pada Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap Dalam Bidang / Ranting Ilmu / Kepakaran Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah Bandung (6 Februari 2025).


PENDAHULUAN


MASALAH DIABETES DAN KOMPLIKASI LUKA DI INDONESIA

Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan global yang signifikan, dengan prevalensi yang terus meningkat. Menurut International Diabetes Federation (IDF), diperkirakan ada lebih dari 537 juta orang dewasa yang hidup dengan diabetes pada tahun 2021, dan angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi 643 juta pada tahun 2030 [1]. Kontrol glikemik yang tidak memadai, seperti yang ditunjukkan oleh kadar HbA1c 7% atau lebih, merupakan masalah Kesehatan masyarakat yang signifikan karena peningkatan risiko komplikasi  dan kematian  yang  diamati   pada  individu    dengan    diabetes   melitus [2].

Pasien yang terlambat didiagnosis atau gagal mengelola kondisinya dengan baik berisiko mengalami komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular [3]. Pengobatan jangka panjang pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 (T2DM) dapat menyebabkan kelelahan, stres, dan beban hidup yang   lebih berat,   yang mengakibatkan masalah biologis, psikologis, sosial, dan spiritual [4].

Salah satu komplikasi serius dari diabetes tersebut adalah Diabetic Foot Ulcer (DFU) atau luka kaki diabetik, yang dapat menyebabkan infeksi, amputasi, dan bahkan kematian. Data menunjukkan bahwa sekitar 15-20 % pasien diabetes akan mengalami luka kaki, dan dari jumlah tersebut, 50% dapat berakhir dengan amputasi [5]. Setiap hari, sekitar 230 amputasi dilakukan di Amerika Serikat akibat komplikasi diabetes, dan setiap 30 detik, satu kaki diamputasi di seluruh dunia [6].

Dalam lima tahun terakhir, prevalensi luka diabetes di Indonesia menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Menurut data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, pada tahun 2020, sekitar 1,5 juta orang  di Indonesia  mengalami DFU, dan  angka ini  diperkirakan terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penderita diabetes [7].

Pasien dengan DFU diabetik sering mengalami penurunan kualitas hidup yang signifikan, termasuk masalah mobilitas dan nyeri kronis [8]. Diperkirakan 50.000 amputasi dilakukan setiap tahun akibat komplikasi diabetes, dengan DFU sebagai penyebab utama di Indonesia [9].

Sebuah studi kohort di Inggris menunjukan bahwa DFU berkaitan erat dengan 5% angka kematian dalam 12 bulan pertama setelah diagnosis dan 42% kematian dalam 5 tahun setelah diagnosis. Pasien DFU juga ditemukan memiliki peningkatan risiko kematian sebesar 2.5 kali lipat dibandingkan dengan penderita diabetes tanpa luka kaki [10]. Selain itu, pasien yang hidup dengan DFU menderita morbiditas yang tinggi, kualitas hidup yang rendah serta gangguan psikososial yang lebih buruk [11].

DFU pada umumnya disebabkan oleh tekanan berulang pada area tekanan vertical atau tegangan geser yang tinggi pada pasien dengan neuropati perifer [3]. Terlepas dari penyebab luka pada DFU, proses penyembuhan luka yang tidak normal merupakan penyebab luka menetap dan mengakibatkan morbiditas serta mortalitas yang signifikan. Pada kondisi normal, proses penyembuhan luka dimediasi oleh growth factor dan sitokin yang dilepaskan oleh sel-sel berbeda dan diaktivasi oleh respon imun, termasuk fibroblast, sel endotel, fagosit, trombosit dan keratinosit [12]. Pada intinya, proses penyembuhan luka bergantung pada 4 fase: hemostatis (melibatkan akumulasi trombosit dan faktor koagulan yang bersirkulasi di lokasi jaringan cedera), fase peradangan (merupakan respon terhadap kerusakan jaringan dan melibatkan perekrutan sel-sel inflamasi), fase pembentukan jaringan (dimana peradangan teratasi dan sel-sel dalam dasar luka menjadi proliferatif dan bermigrasi), serta fase remodelling (dimana jaringan yang baru terbentuk disimpan terutama melalui matriks remodelling ekstraseluler dan terjadi angiogenesis) [13]. Pada luka diabetes, terjadi kegagalan dalam melewati fase yang seharusnya, sehingga menyebabkan penyembuhan luka menjadi terhambat.



Perawatan luka diabetes saat ini bergantung pada edukasi, pencegahan dan diagnosis dini. Namun ketika  luka  telah  berkembang, terapi  invasive menjadi sangat mahal dan terapi non

invasive menjadi kurang efektif. Selama beberapa tahun terakhir, banyak penelitian yang difokuskan pada penyembuhan luka diabetes seperti penelitian mengenai gangguan growth factor, respon angiogenik, akumulasi kolagen, migrasi dan proliferasi keratinosit dan fibroblast serta keseimbangan antara akumulasi komponen ekstraseluler dan remodellingnya oleh protease [14].

Faktor hiperglikemia kronis dapat menyebabkan berbagai gangguan metabolisme yang mempengaruhi timbulnya luka. Gangguan metabolisme dapat menyebabkan penurunan proliferasi endotel, peningkatan ketebalan membrane basalis, kekakuan pembuluh darah, peningkatan kekentalan darah serta hiperaktivitas platelet.

Lebih lanjut mempengaruhi kemampuan pembuluh darah untuk vasodilatasi, penurunan Nitric Oxide (NO), mengganggu reflex saraf, jalur myo-inositol, pompa ATP-ase dan beberapa jalur yang lain sehingga menginduksi terjadinya gangguan pada jaringan kulit. Jika diikuti dengan faktor seperti infeksi, trauma yang tidak disadari serta kesadaran yang rendah akan terjadinya luka pada kulit maka akan timbul luka kronis [15].

TANTANGAN DALAM MANAJEMEN PERAWATAN LUKA DIABETES DI INDONESIA

Disamping kronisitas DM yang menyebabkan DFU berlanjut, manajemen luka diabetes di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala:

 

1. Kurangnya Tenaga Ahli : Tidak semua rumah sakit    memiliki    tenaga   Kesehatan    yang kompeten    dalam  perawatan   luka   diabetes. Studi di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, melaporkan bahwa hanya 40 % perawat yang memiliki pelatihan khusus dalam manajemen luka diabetes [16].

2. Keterbatasan Infrastruktur dan Fasilitas. Banyak rumah sakit daerah kekurangan fasilitas dasar untuk perawatan luka, seperti ruang isolasi infeksi dan peralatan sterilisasi. Data dari Rumah Sakit Umum Daerah menunjukkan bahwa 60% unit perawatan luka tidak memiliki protokol sterilisasi yang memadai [17] .Sehingga pemerintah perlu meningkatkan alokasi anggaran untuk infrastruktur kesehatan, termasuk menyediakan peralatan perawatan luka modern di rumah sakit daerah.

3. Terbatasnya Akses pada Teknologi Modern: Terapi seperti negative pressure wound therapy (NPWT), debridement modern, penggunaan growth factor, terapi vibrasi, dan terapi Hiperbaric masih belum tersedia secara merata di berbagai RS di Indonesia [2]

4. Biaya Pengobatan yang Tinggi: Biaya perawatan luka yang tinggi dapat menjadi beban finansial bagi pasien dan keluarga, terutama jika memerlukan perawatan jangka panjang [18]. Sebagian besar pasien tidak mampu menjangkau terapi lanjutan akibat keterbatasan ekonomi, meskipun sudah ada subsidi dari BPJS Kesehatan.

5. Keterlambatan dalam diagnosis, kurangnya pemantauan yang tepat, dan kurangnya pengetahuan tentang perawatan luka di kalangan pasien dan caregiver. Di samping itu, banyak pasien diabetes mengalami neuropati, yang dapat mengurangi kemampuan mereka untuk merasakan   luka atau   cedera pada kaki,  sehingga  memperburuk  kondisi luka mereka [19].

6. Kurangnya Edukasi dan Kesadaran Pasien. Edukasi pasien tentang pentingnya perawatan kaki dan kontrol glikemik masih minim. Penelitian di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta, melaporkan bahwa 70 % pasien dengan luka diabetes tidak menyadari pentingnya deteksi dini dan manajemen luka [20]. Melalui Program edukasi Kesehatan berbasis komunitas dapat meningkatkan kesadaran masyarakat, seperti pelatihan pemeriksaan kaki mandiri untuk pasien DM.

Penelitian Syabariyah (2024) menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang pencegahan luka diabetes masih rendah. Dan hasil pengabdian kepada masyarakat menunjukkan bahwa setelah pemberian intervensi edukasi dan praktik senam kaki diabetes, terjadi peningkatan pengetahuan dan keterapilan masyarakat tentang pentingnya pencegahan luka diabetes di Kecamatan Karang Tengah Garut. Penelitian lain yang dilakukan Syabariyah dan Inggriane (2024) menyoroti bahwa kesejahteraan spiritual dan religiusitas juga merupakan faktor kunci yang mempengaruhi hambatan yang dihadapi dalam manajemen diri DM dan komplikasinya.

7. Tingginya Angka Infeksi dan buruknya sirkulasi. Infeksi merupakan penyebab utama amputasi pada pasien DFU. Kurangnya kontrol infeksi di fasilitas kesehatan sering memperburuk  kondisi  pasien.  Penelitian  di RSUD  Hasan Sadikin, Bandung, menunjukkan bahwa 25 % pasien mengalami infeksi nosokomial selama perawatan luka [21]. Sehingga pentingnya implementasi protokol kontrol infeksi yang ketat dan memperbaiki sirkulasi darah perifer pada penderita luka diabetes.

8. Minimnya Penelitian Lokal. Data epidemiologi dan efektivitas terapi luka diabetes di Indonesia masih terbatas. Sebagian besar rekomendasi klinis masih mengacu pada penelitian internasional yang belum tentu sesuai dengan konteks lokal. Sehingga ke depannya institusi akademik dan rumah sakit perlu mendorong penelitian berbasis bukti, termasuk uji klinis terapi baru untuk luka diabetes.

Dari masalah dan tantangan manajemen perawatan luka diabetes diatas menjadi titik point dimana peran perawat luka untuk terus mengembangkan berbagai pemahaman dasar tentang manajemen luka kronis khususnya luka diabetes. Diperlukan intervensi perawatan yang inovatif berbasis bukti atau penelitian ter-update agar penyembuhan luka diabetic lebih cepat yang pada akhirnya dapat mencegah amputasi serta meningkatkan kualitas hidup pasien.

PERAN NITRIC OXIDE TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA DIABETES

Nitric oxide (NO) merupakan sebuah atom berukuran kecil, relative tidak stabil, paramagnetik, radikal bebas diatomik dan molekul lipofilik. Saat NO berada pada tahap oksidasi menengah, NO dapat bekerja sebagai pengoksidasi dan agen yang mengurangi oksidasi.

NO memperantarai dan atau mengatur endothelium-dependen vasorelaxation (EDVR), tekanan darah, sitotoksisitas makrofag, adesi dan agregasi platelet, neurotransmiter, long-term depression (LTD), dan long-term potentiation (LTP). NO merupakan sebuah molekul signal dasar untuk komunikasi sel ke sel, dimana terutama bekerja melalui aktifasi guanylate cyclase.

Peranan NO sebagai second messeger menjadi penting bagi pembuluh darah karena berfungsi untuk melebarkan pembuluh darah (vasodilatasi), proses fagositosis dan penghambatan adesi trombosit. Pada penderita DM, diketahui terjadi penurunan bioavailabilitas NO yang lebih lanjut menyebabkan gangguan pada endotel kapiler [2] .

Gangguan metabolisme yang terjadi pada penderita DM antara lain pada jalur aktivitas polyol, myo-inositol dan glikosilasi protein. Pada kondisi hiperglikemia terus menerus dapat menyebabkan peningkatan aktivitas polyol. Peningkatan aktivitas polyol ini dapat menurunkan sintesis nitric oxide (NO). Penurunan NO berdampak pada iskemia saraf yang mempengaruhi abnormalitas morfologi kaki diabetes sehingga menyebabkan neuropati.




Penurunan sintesis NO juga diduga memengaruhi penyembuhan luka kaki diabetik. Meskipun diketahui NO merupakan salah satu radikal bebas yang bersifat merusak seperti halnya superoxide dan perokside, namun dalam kondisi normal NO sangat berperan dalam

jalur penyembuhan luka [22]. Pada penderita DM adanya hiperglikemia, peningkatan asam lemak bebas dan resistensi insulin mengakibatkan disfungsi endotel dengan inhibisi sintesis NO atau peningkatan katabolisme NO.

Pada penderita DM adanya hiperglikemia, peningkatan asam lemak bebas dan resistensi insulin mengakibatkan disfungsi endotel dengan inhibisi sintesis NO atau peningkatan katabolisme NO. Insulin meningkatkan aktivitas NO syntase (NOS) dengan merangsang phosphotidylinositol-3 kinase dan ATP kinase. Transduksi sinyal dengan insulin melalui jalur phosphotidylinositol-3 kinase pada penderita resistensi insulin terganggu. Insulin menstimulasi NOS menjadi lebih sedikit dan produksi NO menurun. Akibatnya, endothelin diproduksi lebih banyak dan terjadi peningkatan inflamasi dan thrombosis [23][24].

Penelitian oleh Kwesiga et al (2018) menjelaskan peran Nitrit Oksida (NO) dalam penyembuhan luka dan terdapat bukti yang menunjukkan bahwa produksi NO oleh fibroblast mungkin memainkan peran penting dalam fase penyembuhan luka. Beberapa penelitian lain telah membuktikan bahwa produksi NO yang tidak tepat merupakan kontributor utama terhadap disregulasi penyembuhan luka. Peranan NO dalam penyembuhan luka telah banyak diteliti   secara   in vivo   terhadap  hewan. Namun begitu, intervensi dalam meningkatkan NO kepada pasien diabetes secara langsung belum banyak dilakukan [25].

Scooping Review oleh Syabariyah, dkk (2024) menyimpulkan bahwa NO terbukti memiliki peranan penting pada setiap fase penyembuhan luka. Kekurangan kadar NO terbukti menjadi penyebab terganggunya proses penyembuhan pada luka diabetes. Selain peranannya dalam fase penyembuhan luka, NO juga memiliki peran sebagai antibacterial dan antitumor. NO merangsang pembentukan pembuluh darah baru yang penting pada fase angiogenesis untuk suplai oksigen ke jaringan luka [13]. Disamping itu NO mengatur aktivitas sitokin proinflamasi dan anti-inflamasi, membantu menurunkan inflamasi kronis (Nathan & Hibbs, 1991), serta memfasilitasi proliferasi dan migrasi fibroblast, yang diperlukan untuk pembentukan jaringan granulasi [25].

NO merupakan molekul kunci yang dihasilkan sel endotel, khususnya berperan sangat penting dalam mempertahankan tonus vaskuler dan proses fisiologis lainnya dalam sel [26]. Sejumlah studi menduga bahwa menurunnya produksi NO pada diabetes menjadi jalan berbagai upaya terapi untuk meningkatkan produksinya sehingga proses penyembuhan bisa dihasilkan. Berbagai   intervensi  untuk meningkatkan NO sebagai upaya penyembuhan luka diantaranya adalah   pemberian   oksigen hiperbarik,  vibration wound therapy dan electrical stimulation.



EVIDENCE-BASED TERAPI VIBRASI TERHADAP KADAR NITRIC OXIDE (NO) PASIEN DFU

Vibration Wound Therapy ( VWT ) merupakan pemberian terapi getaran yang dilakukan dengan vibrator frekuensi 47 Hz; amplitude 15 detik dan aselerasi vibrasi horizontal sebesar 1,78 mm/ s² [27] pada pasien dengan luka ulkus kaki diabetic mempengaruhi kadar NO dalam serum. Tegangan geser (shear stress) yang dihasilkan oleh getaran pada terapi VWT menyebabkan pelepasan NO oleh sel endotel, serta pelebaran pembuluh darah [2]. Penelitian ini menemukan bahwa pada besaran dan frekuensi yang sesuai, getaran yang dirasakan oleh tubuh manusia sebagai kekuatan mekanik merangsang sel endotel pembuluh darah untuk melepaskan   NO, yang   diketahui   berperan  penting dalam mempercepat penyembuhan luka.


Syabariyah S (2014, 2023) (penulis sekaligus peneliti) mendapatkan “Pemberian terapi Adjuvan Vibrasi (TAV) terhadap Penyembuhan DFU efektif mempercepat penyembuhan ulkus kaki diabetik diukur dari laju kesembuhan, skor penyembuhan, penutupan area luka dan kadar NO dengan nilai signifikansi perbedaan bermakna (p<0,05) . Evidence based ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain penelitian yang digunakan adalah randomized clinical trial (RCT) non blinding. Subyek penelitian merupakan pasien dengan DFU derajat 1-3 yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Pada kelompok intervensi, vibrasi diberikan dengan dosis 3 kali sehari dengan lama pemberian 15 menit sampai luka dinyatakan sembuh [27][2].

Vibrasi juga meningkatkan kadar nitric oxide (NO) setelah intervensi diberikan dan menunjukkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok. Sebagai luaran sekunder didapatkan  hubungan  antara kadar NO  dengan  laju  kesembuhan  dan penutupan area luka.

Penelitian ini menghasilkan suatu konsep baru yang menjadi landasasan teoritis terkini tentang peranan vibrasi terhadap kadar NO yang memicu penyembuhan luka kaki diabetik yang lebih cepat.

Analisis terhadap kadar NO dilakukan terhadap tiga pengukuran yaitu: 1) kadar NO setelah intervensi; 2) delta NO, dan 3) perbandingan di dalam kelompok kadar NO sesudah intervensi terhadap kadar NO sebelum intervensi dilakukan.


Uji perbedaan rerata antara kelompok terhadap delta (selisih antara kadar NO setelah intervensi terhadap kadar NO sebelum intervensi) menggunakan uji Mann-Whitney. Selisih kadar setelah intervensi terhadap kadar sebelum intervensi menunjukkan bahwa terdapat berbedaan yang bermakna dalam delta kadar NO antar kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan nilai p<0.001. Delta ini menunjukkan berapa perbedaan kenaikan atau penurunan kadar NO pada masing- masing kelompok setelah intervensi dilakukan.> < 0.001. Delta ini menunjukkan berapa perbedaan kenaikan atau penurunan kadar NO pada masing- masing kelompok setelah intervensi dilakukan.

Analisis ini dibutuhkan tidak hanya menunjukkan adanya perbedaan kadar NO antara kelompok setelah intervensi, namun lebih menekankan berapa perbedaan kadar NO tersebut antara kelompok. Besarnya perbedaan tersebut kemudian diperbandingkan apakah ada perbedaan atau tidak ada perbedaan antara hasil sebelum dan setelah intervensi.

Analisis tambahan dilakukan untuk melihat hubungan perubahan kadar NO terhadap laju kesembuhan, skor penyembuhan luka, penutupan luka, dan lama sembuh. Hasil analisis mendapatkan  bahwa perubahan kadar NO berhubungan dengan laju kesembuhan dengan  p = 0,024, hazard rasio (HR) 1,151 dengan 95 % interval kepercayaan antara 1.019 - 1.302 [2].



Analisis Spearman pada hubungan kadar NO dan lama sembuh memperlihatkan adanya hubungan antara keduanya yang ditunjukkan dengan nilai p=0,005 dan koefisien korelasi 0,312.

PENGEMBANGAN PENELITIAN UNTUK MENGEMBANGKAN BERBAGAI INTERVENSI PENYEMBUHAN LUKA UNTUK MENGGALI PERANAN NITRIC OXIDE DALAM PENYEMBUHAN LUKA DIABETES

Menilik peranan NO dalam penyembuhan luka diabetes diatas, maka terbuka peluang bagi praktisi, ilmuan dan peneliti atau pakar perawatan luka untuk menggali lebih dalam kemungkinan melakukan berbagai penggalian evidence based tentang berbagai intervensi perawatan luka modern yang dapat meningkatkan kadar NO tersebut. Hadirin yang mulia, Saat ini Penulis beserta tim peneliti dari berbagai institusi (Fakultas Teknik dan Laboraturium inovasi terintegrasi Fakultas Farmasi UAD Yogyakarta, Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Farmasi UGM serta Unisa Bandung tengah giat melakukan penetian lanjutan.

Penelitian ini bertujuan untuk membuat rancang bangun alat vibrator yang mengkombinasikan frekuensi dan panjang gelombang vibrasi dengan murotal quran untuk penyembuhan ulkus diabetikum yang kami beri nama Qur’anic+Low Vibration (Q+LoV).

Rancang bangun atau model prototipe ini diharapkan dapat memfasilitasi penyembuhan ulkus diabetikum dengan meningkatkan Nitrit Oxide sekaligus memberikan dampak pemenuhan spiritual pada pasien DFU melalui jalur peningkatan kortisol. Penelitian ini bersifat inovatif yang mendulung riset bidang kesehatan dan obat serta memiliki kontribusi penelitian untuk memberikan solusi perawatan luka ulkus lebih baik sehingga masa perawatan luka lebih singkat, hingga biaya perawatan luka lebih efisien. Urgensi penelitian ini adalah pertama: mencermati beban biaya yang cukup tinggi, sehingga perlu diupayakan metode atau alat yang mendukung percepatan pemulihan ulkus diabetikum pada DMT2 ini secara holistik. Kedua: efek getaran pada peningkatan penyembuhan ulkus kaki diabetik pada pasien manusia masih jarang diteliti. Ketiga: penelitian ini merupakan lanjutan hasil temuan ilmiah tentang alat low vibration yang akan dikombinasikan dengan frekuensi suara murotal Qur’an dalam satu alat untuk mendukung percepatan proses penyembuhan ulkus diabetikum sehingga dapat mencegah terjadi nya amputasi pada pasien DMT2.

Penelitian ini telah menghasilkan rancang bangun dalam bentuk miniatur alat vibrator yang terintegrasi dengan frekuensi audio murotal Qur’anic (Terapi Q+LoV). Meskipun uji coba in vitro dan klinis nya masih dalam progress, namun hal ini memberikan motivasi yang tinggi bagi kami peneliti dan praktisi perawatan luka untuk terus berinovasi menghasilkan alat perawatan luka yang nantinya akan bermanfaat bagi percepatan penyembuhan  luka  sehingga  dapat  menurunkan angka resiko amputasi pada penderita DFU.


PENUTUP

Sebagai penutup pidato ilmiah ini, dapat disimpulkan bahwa telah Nitric Oxide (NO) sebagai molekul kunci memiliki peranan vital dalam penyembuhan luka diabetes. Penurunan kadar NO akibat disfungsi endotel pada pasien diabetes telah diidentifikasi sebagai salah satu penyebab utama hambatan dalam proses penyembuhan luka. Penelitian berbasis bukti menunjukkan bahwa terapi vibrasi, termasuk inovasi Q+LoV, diharapkan mampu meningkatkan kadar NO secara signifikan, mempercepat angiogenesis, mengurangi inflamasi kronis, dan meningkatkan proliferasi fibroblas.

Penelitian ini membuka peluang baru dalam intervensi perawatan luka yang lebih efektif, efisien, dan berbasis bukti lokal. Oleh karena itu, saya mengajak seluruh akademisi, praktisi, dan peneliti lintas disiplin untuk terus mengembangkan penelitian dan inovasi dalam perawatan luka diabetes. Kolaborasi yang erat antara akademisi, institusi kesehatan, dan pemerintah sangat diperlukan untuk menciptakan solusi holistik, sehingga kualitas hidup pasien dapat ditingkatkan dan angka amputasi akibat diabetes dapat ditekan.

Dengan semangat keilmuan dan inovasi, mari kita bersama-sama berkontribusi dalam pengembangan ilmu keperawatan yang berbasis bukti dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat.(ms2)

DAFTAR PUSTAKA

1. H. Zhang et al., “Regulatory mechanisms of the Wnt/β-catenin pathway in diabetic cutaneous ulcers,” Frontiers in Pharmacology. 2018, doi: 10.3389/fphar.2018.01114.

2. S. Syabariyah et al., “The Effect of Vibration on the Acceleration of Wound Healing of Diabetic Neuropathic Foot Ulcer: A Prospective Experimental Study on Human Patients,” Healthc., 2023, doi: 10.3390/healthcare11020191.

3. S. Syabariyah and E. Murachmah, “Vibration Adjuvant Wound Therapy Enchances the Healing of Diabetic Foot Ulcers: an Interim Analysis of 31 Patient,” J. Keperawatan dan Kesehat., 2015.

4. H. Setiawan, H. Mukhlis, D. A. Wahyudi, and R. Damayanti, “Kualitas Hidup Ditinjau dari Tingkat Kecemasan Pasien Penderita Ulkus Diabetikum,” Maj. Kesehat. Indones., 2020, doi: 10.47679/makein.20207.

5. Q. Yu et al., “Stem Cell-Based Therapy for Diabetic Foot Ulcers,” Frontiers in Cell and Developmental Biology. 2022, doi: 10.3389/fcell.2022.812262.

6. A. Azhar, M. Basheer, M. S. Abdelgawad, H. Roshdi, and M. F. Kamel, “Prevalence of Peripheral Arterial Disease in Diabetic Foot Ulcer Patients and its Impact in Limb Salvage,” Int. J. Low. Extrem. Wounds, 2023, doi: 10.1177/15347346211027063.

7. Kemenkes, “Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,” Kementeri. Kesehat. RI, 2019.

8. K. Kusnanto, P. M. Sundari, C. P. Asmoro, and H. Arifin, “HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN DIABETES SELF-MANAGEMENT DENGAN TINGKAT STRES PASIEN DIABETES MELITUS YANG MENJALANI DIET,” J. Keperawatan Indones., 2019, doi: 10.7454/jki.v22i1.780.

9. Kemenkes RI, “Diabetes melitus penyebab kematian nomor 6 di dunia; Kemenkes tawarkan solusi cerdik melalui Posbin,” Kemenkes RI, 2013.

10. E. Everett and N. Mathioudakis, “Update on management of diabetic foot ulcers,” Annals of the New York Academy of Sciences. 2018, doi: 10.1111/nyas.13569.

11. F. N. Rosyid, “Etiology, pathophysiology, diagnosis and management of diabetics’ foot ulcer,” Int. J. Res. Med. Sci., 2017, doi: 10.18203/2320-6012.ijrms20174548.

12.J. M. Ramirez-Acuña et al., “Diabetic foot ulcers: Current advances in antimicrobial therapies and emerging treatments,” Antibiotics. 2019, doi: 10.3390/antibiotics8040193.

13. Gunes AE, Eren MA, Karakas EY, “Relation With Mean Platelet Vlume and Diabetic Foot Ulcers,” Acta Medica Mediterr., 2017.

14. A. Osei et al., “Combining Home Garden, Poultry, and Nutrition Education Program Targeted to Families with Young Children Improved Anemia among Children and Anemia and Underweight among Nonpregnant Women in Nepal,” Food Nutr. Bull., 2017, doi: 10.1177/0379572116676427.

15. C. Maloney-Hinds, J. S. Petrofsky, G. Zimmerman, and D. A. Hessinger, “The role of nitric oxide in skin blood flow increases due to vibration in healthy adults and adults with type 2 diabetes,” Diabetes Technol. Ther., vol. 11, no. 1, pp. 39–43, 2009, doi: 10.1089/dia.2008.0011.

16. Samiyah, R. I. Wardhani, and I. Saputro, “Hubungan Antara Infeksi dan Lama Perawatan Pasien Luka Bakar berdasarkan Jenis Kuman di RSUD Dr Soetomo Surabaya,” J. Rekonstruksi dan Estet., 2022, doi: 10.20473/jre.v7i1.36369.

17. S. Barus, B. Tampubolon, and S. Aminah, “Pengaruh Tehnik Modern Wound Dressing Terhadap Proses Penyembuhan Luka Ulkus Diabetikum Pada Pasien Diabetes Mellitus di Klinik Wound & Footcare RSUD Al Ihsan Provinsi Jawa Barat,” Malahayati Nurs. J., 2022, doi: 10.33024/mnj.v5i2.5913.

18. Pusdatin Kemenkes RI, Data Diabetes Melitus. 2021. 

19. D. A. Hidhayah, S. Kamal, and N. Hidayah, “Hubungan lama sakit dengan kejadian luka pada penderita Diabetes Melitus di Kabupaten Magelang,” Borobudur Nurs. Rev., 2021, doi: 10.31603/bnur.4947.

20. A. Prihatini, “Proses Asuhan Gizi Terstandar Pada Pasien Dm, Chf, Dyspneu, Efusi Pleura Di Rsud Dr. Tjitrowardojo Purworejo Tipe B Pendidikan,” Dr. Diss. Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, 2022. 

21. H. Novyanda and W. Hadiyani, “HUBUNGAN ANTARA PENANGANAN DIABETES MELITUS: EDUKASI DAN DIET TERHADAP KOMPLIKASI PADA PASIEN DM TIPE 2 DI POLIKLINIK RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG,” J. Keperawatan Komprehensif (Comprehensive Nurs. Journal), 2017, doi: 10.33755/jkk.v3i1.81.

22. M. A. Sackner, E. Gummels, and J. A. Adams, “Nitric oxide is released into circulation with whole-body, periodic acceleration,” Chest, vol. 127, no. 1, pp. 30–39, 2005, doi: 10.1378/chest.127.1.30. 

23. J. A. Adams, J. E. Moore, M. R. Moreno, J. Coelho, J. Bassuk, and D. Wu, “Effects of Periodic Body Acceleration on the In Vivo Vasoactive Response to N-w-nitro-L arginine and the In Vitro Nitric Oxide Production,” Ann. Biomed. Eng., vol. 31, no. 11, pp. 1337–1346, 2003, doi: 10.1114/1.1623486. 24.

24. J. A. Adams, H. Wu, J. A. Bassuk, J. Arias, A. Uryash, and P. Kurlansky, “Periodic acceleration (pGz) acutely increases endothelial and neuronal nitric oxide synthase expression in endomyocardium of normal swine,” Peptides, vol. 30, no. 2, pp. 373 377, 2009, doi: 10.1016/j.peptides.2008.10.014. 25.

25. M. P Kwesiga et al., “Investigative Study on Nitric Oxide Production in Human Dermal Fibroblast Cells under Normal and High Glucose Conditions,” Med. Sci. (Basel, Switzerland), 2018, doi: 10.3390/medsci6040099. 26.

26. G. K. Kolluru, X. Shen, S. C. Bir, and C. G. Kevil, “Hydrogen sulfide chemical biology: Pathophysiological roles and detection,” Nitric Oxide - Biology and Chemistry. 2013, doi: 10.1016/j.niox.2013.07.002. 27.

27. S. Syabariyah and E. Nurachmah, “Vibration Adjuvant Wound Therapy Enchances the Healing of Diabetic Foot Ulcers: an Interim Analysis of 31 Patient,” J. Keperawatan dan Kesehat., vol. VI, no. 3, pp. 126–138, 2015.

 


Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak