Perusahaan Singapura Ini Daftarkan 3 Gugatan ke Anak-anak Presiden Soeharto, Tuntut Sita Aset-aset Yayasan

PORTAL MEDAN. Perusahaan asal Singapura Mitora Pte. Ltd akan mengajukan dua gugatan lain terhadap anak-anak Soeharto atau keluarga Cendana atas kasus wanprestasi. Konflik ini bermula saat Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, milik anak-anak Soeharto, tidak memenuhi janji membayar tuntutan atas gugatan Mitora di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2018.

Atas kesepakatan itu, pihak Mitora mencabut gugatan di tahun 2018. Perjanjian itu terlampir dalam surat tugas dari Soehardjo Soebardi, serta turut tertera logo dari Yayasan Harapan Kita. 

Dalam surat tugas itu, Yayasan Harapan Kita menyampaikan bakal mengambil alih kewajiban pembayaran dari Yayasan Purna Bhakti Pertiwi. Nominal yang tertulis di surat tugas itu sebesar Rp 104 miliar.

Pengacara dari Mitora, Leonardus Sagala menyebut hingga kini pihak anak-anak Soeharto, baik itu Yayasan Purna Bhakti Pertiwi maupun Yayasan Harapan Kita urung melunasi kewajiban pembayaran tersebut. Upaya penagihan jalan di tempat, pun dengan upaya komunikasi antara Mitora dan anak-anak Soeharto.

Bahkan, katanya, keluarga Cendana mengkriminalisasi Chief Executive Officer atau CEO Mitora, Andreas Thanos, dengan membuat laporan ke Bareskrim Polri atas tuduhan pemerasan dan pengancaman. Hingga kini belum ada kesimpulan atas laporan tersebut. Leonardus mengungkapkan, bahwa penyelidik Bareskrim Polri belum menemukan cukup alat bukti.

"Ada sekitar tiga gugatan yang akan kami ajukan, yang baru diajukan itu satu, ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas wanprestasi," ucapnya ketika ditemui di kawasan Jakarta Pusat, Senin, 12 Februari 2024.

Dua gugatan lainnya, kata Leonardus, kliennya bakal mendaftarkan ke peradilan arbitrase dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, katanya, dasar gugatan ke arbitrase itu belum dapat diungkap, karena dalam klausulnya terdapat sifat kerahasiaan.

"Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dua gugatan. Tapi yang kedua sifatnya ke personal," katanya. Dia mengatakan, bahwa gugatan masalah personal itu bermula saat Soehardjo Soebardi dan istrinya meminta agar Mitora memfasilitasi pengobatan anaknya di Jepang.

Direktur Mitora Deny Ade Putera mengungkapkan, hingga kini biaya operasional pulang-pergi ke Jepang itu belum diganti oleh keluarga Soehardjo Soebardi. "Makanya laporan ke Bareskrim adanya pemerasan dari 2019-2021 itu enggak masuk akal. Kami bantu mereka itu 2019, bolak-balik Jepang," ucapnya.

Gugat atas Wanprestasi dan Lapor Polisi karena Kriminalisasi 

Per hari ini, Mitora sudah mengajukan gugatan wanprestasi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan perdata itu teregister dengan nomor 76/Pdt.G/2024/PN Jkt.Pst tertanggal 30 Januari 2024. 

Dari laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ada tiga pihak yang dijadikan tergugat, yaitu Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, Soehardjo Soebardi, dan Yayasan Harapan Kita. 

Mitora juga menggugat anak-anak Soeharto sebagai turut tergugat di kasus ini, yakni Sigit Harjojudanto, Siti Hediati Haryadi, Bambang Trihatmodjo, Siti Hardiyanti Hastuti Rukmana, serta Su'udy Sadat dan Mayjen (Purn) Achmad Tanribali.

Mitora dalam gugatannya menuntut para tergugat secara tanggung renteng mengganti rugi material sebesar Rp 34 miliar dan ganti rugi immaterial sebesar Rp 100 miliar.

Perusahaan asal Singapura ini juga menggugat penyitaan aset Yayasan Purna Bhakti Pertiwi seluas 160 ribu meter persegi, sekaligus aset milik Yayasan Harapan Kita, di antaranya Museum Purna Bhakti Pertiwi, Graha Lukisan, Puri Jati Ayu, dan bangunan lainnya. Aset dua yayasan itu terletak di kawasan Taman Mini Indonesia Indah.

"Kami sudah punya pengalaman nih tidak dilakukan pembayaran, sehingga satu-satunya cara untuk memaksa mereka membayar itu menyita aset-asetnya atas nama Yayasan Purna Bhakti Pertiwi," ujarnya.

Sidang perdana kasus ini bakal digelar pada Selasa, 20 Februari 2024 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Tidak hanya menggugat ke pengadilan, Mitora juga melaporkan tindakan kriminalisasi yang dilakukan anak-anak Soeharto ke Polres Metro Jakarta Timur.

Terpisah, Kapolres Metro Jakarta Timur Komisaris Besar Nicolas Ary Lilipaly mengatakan belum memonitor laporan tersebut. Sebab, katanya, jajarannya masih sibuk dengan urusan Pemilu 2024.

"Saya harus cek dulu kapan dilaporkan dan perkembangan proses penyelidikannya. Tunggu dulu ya, kami masih sibuk pemilu," ucapnya ketika dihubungi, Selasa, 13 Februari 2024.(tempo.co)


http://dlvr.it/T2rp4P
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak