PORTAL MEDAN. Mantan Wamenkumham Denny Indrayana memberi penjelasan langsung dari Melbourne, Australia, tentang isu Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan pemilu proporsional tertutup.
Menurut Denny Indrayana, soal pemilihan sistem pemilu proporsional tertutup atau terbuka itu adalah kewenangan pembuat UU, Presiden, DPR, dan DPD, bukan Mahkamah Konstitusi.
“Saya sedang di Portalington, Melbourne, Australia. Sekarang dingin, angin, dan waktunya bagus untuk memancing,” kata Denny Indrayana, Senin (29/5/2023).
Denny lalu membahas terkait cuitannya yang beberapa hari ini ramai direspons oleh berbagai pihak termasuk Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Menko Polhukam Mahfud Md.
“Saya mengamati perkembangan berita di Tanah Air, setelah kemarin saya mentweet ada informasi bahwa MK akan memutuskan terkait sistem pemilu menjadi proporsional tertutup kembal,” katanya.
“ Dan informasi itu direspons oleh berbagai kalangan, termasuk Presiden ke-6 RI Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Saya juga melihat tweet yang dilepaskan oleh Menkopolhukam Prof Muhammad Mahfud Md,” ucapnya.
Denny menegaskan dirinya sengaja melepas rumor itu agar keputusan MK ini menjadi perhatian publik.
Dia juga menyebut itu sebagai bentuk transparansi, advokasi, dan pengawalan terhadap putusan MK.
“Setelah saya timbang-timbang informasi bahwa MK akan kembalikan sistem pemilu legislatif menjadi proporsional tertutup lagi, harus diketahui publik, ini bentuk transparasnsi, ini bentuk adovokasi publik, pengawalan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi,” jelasnya.
Selain itu, Denny juga mengungkap keadilan di Tanah Air tidak akan terwujud jika persoalan tidak menjadi viral.
Dia menyebut MK juga akan melanggar prinsip dasar open legal policy jika pada akhirnya nanti memutuskan pemilu digelar dengan sistem tertutup.
“Saya, kita, paham sekarang di Tanah Air, jika tidak menjadi perhatian publik, maka keadilan sulit untuk hadir, no viral no justice, maka kita perlu melakukan langkah-langkah pengawalan dengan mengungkapkan ini ke sosial media,” katanya.
“Karena apa? Karena jika MK memutuskan untuk kembali ke sistem proporsional terutup, itu artinya MK melanggar prinsip dasar open legal policy. Soal pemilihan sistem pemilu proporsional tertutup atau terbuka itu adalah kewenangan pembuat UU, Presiden, DPR, dan DPD, bukan MK,” jelasnya.
Menurutnya, Jika MK kembali memutuskan sistem proporsional tertutup, maka ini akan mengganggu proses legislatif yang sudah berjalan.
“Sekarang para bacaleg sudah daftarkan daftar calon sementara, maka jika di tengah jalan ini diubah, maka akan mengganggu parpol karena harus menyusun ulang, dan tidak menutup kemungkinan para caleg mundur karena mereka tidak ada di nomor jadi, nomor jenggot yang mengakar ke atas, bukan nomor di bawah di akar rumput,” lanjutnya.
Atas dasar itu lah, Denny menilai perlu adanya langkah-langkah advokasi, pencegahan, dan preemptif atas putusan MK. Dia mengaku khawatir MK dijadikan alat pemenangan Pemilu 2024.
“Karena saya khawatir Mahkamah Konstitusi punya kecenderungan sekarang dijadikan alat untuk strategi pemenangan pemilu,” imbuhnya.
Lebih jauh, Denny juga mengkaitkan sistem pemilu dengan keputusan MK yang memberikan tambahan jabatan 1 tahun kepada pimpinan KPK. Dia menyebut MK saat ini berpotensi diganggu oleh kepentingan politik.
Menurutnya, putusan 25 Mei 2023 kemarin, memberi pelajaran ketika MK memberikan gratifikasi jabatan 1 tahun kepada pimpinan KPK yang bermasalah secara etika, tidak ada dasar hukum yang kokoh di sana.
Pada saat dikatakan supaya independensi KPK makin kuat supaya tidak dipilih Presiden dan DPR yang sama, Jokowi dan DPR, maka sebenarnya diundur ke Pemilu 2024 sekalipun, di bulan Juni, yang bentuk pansel adalah Presiden Jokowi, yang akan melakukan fit and proper test juga DPR periode sekarang.
“Maka langkah yang tidak ada yuridis konstitusional itu menunjukkan ada kepentingan-kepentingan politik yang menginfiltrasi kepada MK. Karena itu kita harus membantu menyelamatkan MK dengan mengingatkan jangan masuk ke wilayah sistem pemilu yang merupakan open legal policy yang merupakan kewenangan Presiden, DPR dan DPD dalam proses legislasi parlemen,” tutur Denny Indrayana.
Diberitakan sebelumnya, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) yang kini berprofesi sebagai advokat, Denny Indrayana, mengklaim mendapatkan informasi A1 mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal sistem pemilu legislatif yang akan kembali ke sistem proporsional tertutup atau coblos partai. Putusan itu diklaim Denny diwarnai perbedaan pendapat atau dissenting opinion di MK.
(ikror/pojoksatu)
http://dlvr.it/Spr7qc
http://dlvr.it/Spr7qc